Rabu, 06 Februari 2013

Ibu Hebring dan Dokter Anak...

Bagi para penumpang kereta, sudah akrab ditelinga istilah Geng Kereta atau Roker alias Rombongan Kereta. Kali ini saya kembali berjumpa dengan Roker itu yang beranggotakan ibu-ibu hebring dalam perjalanan saya dari Depok ke Sudirman. Usia mereka beragam, ada yang sekitar duapuluhan, tigapuluhan dan empatpuluhan, yuuuk mari berhitung saudara-saudara. Dan obrolan sudah terjadi bahkan sebelum mereka menaiki kereta. Bahkan kepenuhsesakkan kereta yang kami tumpangi pun tak menyurutkan keinginan mereka untuk mengobrol.
 
Kali ini obrolan adalah seputar pemilihan Dokter Anak. Salah satu Roker yang berusia duapuluhan menceritakan anaknya yang sedang sakit. Batuk dan pilek disertai badan panas mendera anaknya. Mulailah ibu-ibu yang lain menimpali pilihan dokter anak yang bagus. Oh iya, bukannya saya menguping ya... tapi karena telinga saya masih berfungsi normal dan gerombolan ini berada di dekat saya, otomatis saya mendengar pembicaraan mereka.
 
Singkatnya seperti ini ringkasan obrolan mereka.
 
Ibu A 20th : "Aduuuh, sebenernya hari ini saya nggak pengen ngantor deh, anak saya yang kecil lagi batuk pilek, semalem badannya panas." raut mukanya terlihat serius.
 
Ibu B 20th : "Kasiaaan. Udah dibawa ke dokter?"
 
Ibu A 20th : "Belum sih, rencananya malem ini pulang kerja kalau panasnya nggak turun juga."
 
Ibu C 30th : "Ke dokter siapa biasanya, Bu?." hmmm, saya mulai bisa membaca, ibu yang satu ini punya sifat ingin tahu. Kalau istilah jaman sekarang adalah KEPO.
 
Ibu A 20th : "Saya ke Dokter Endah di RS.XXX." ibu itu menyebutkan salah satu RS di Depok yang menjadi langganannya.
 
Ibu D 40th : "Aaaaah, RS. XXX mah mahaaal. Harga obatnya bisa gila-gilaan. Udah gitu ngantri lagi." Nah, yang satu ini pasti raja komen, itu yang menjadi penilaian awal saya.
 
Ibu A 20th : "Iya emang sih, tapi udah langganan, jadi ya nggak apa-apa deh. Dokternya bagus kok."
 
Ibu C 30th : "Kalau saya ya, anak sakit, saya bawa aja ke dokter deket rumah tuh. Sama aja kok. Sembuh-sembuh juga. Kadang-kadang di RS itu buat gengsi-gengsian doang, padahal pas abis bayar ngeluhnya bisa sampe seminggu nggak kelar-kelar."
 
Saya mulai mengernyitkan dahi, lah ini ibu-ibu kenapa jadi sewot. Ternyata si ibu yang anaknya sakit mulai agak tersinggung, ia menaikkan dagunya sebelum mendebat lagi.
 
Ibu A 20th : "Ya, gimana lagi ya, anak saya udah cocok sama dokter yang satu itu. Lagian memang bagus kok dokternya. Saya nggak mau coba-coba kalau buat urusan kesehatan anak."
 
Seolah tak mau kalah, Ibu D 40th nyeletuk juga, "Kalau anak cuma sakit batuk pilek, jangan dikit-dikit dibawa kedokter. Coba pake obat yang dijual diapotek dulu, biar nggak kebiasaan. Ntar udah biasa pake obat paten, giliran pake obat biasa nggak mempan. Sayang-sayang uangnya kan." kembali si raja komen mengutarakan pendapatnya.
 
Lho-lho, saya yang nggak ikutan punya anak sakit aja ikutan senewen mendengarnya. Kok jadi mereka-mereka yang sewot sih, yang anaknya sakit aja tenang-tenang saja jika harus ke dokter yang ada di RS XXX itu, walaupun katanya mahal. Kok malah jadi diomelin...
Rupanya si ibu yang anaknya sakit mulai gerah dengan segala ke-sok-tahuan kawan-kawannya itu. Perbincangan yang awalnya obrolan berubah jadi perdebatan berujung eyel-eyelan.
 
Ibu A 20th : "Ya... tiap anak kan lain-lain. Kalau saya sih lebih nyaman dengan jasa dokter langganan saya di RS XXX itu. Memang obatnya paten, tapi anak saya kan jadi cepat sembuh. Kasian kan kalau batuk lama-lama, kalau malam dia jadi susah tidur. "
 
Ibu C 30th : "Kalau saya sih yaaa, nggak akan buang-buang uang untuk obat paten yang sebenarnya sama saja khasiatnya dengan obat generik." tetap dengan gaya sok taunya.
 
Ini apa siiiiih, urat-urat kekesalan saya mulai menegang, risih juga kuping saya ini mendengar perdebatan tak berujung dari ibu-ibu didekat saya ini. Yang awalnya cuma ngobrolin anak sakit, kok malah jadi banding-bandingin obat, belum lagi tak ada yang mau mengalah dalam obrolan ini.
 
Ibu A 20th : "Ya namanya buat anak, apa saja kita lakukan deh asal dia sehat. Buat apa kerja banting tulang, dari pagi sampai malam, kalau pelit sama anak sendiri. Kita kerja kan juga buat anak." Dari nada bicaranya sudah tampak kalau ubun-ubun ibu ini sudah berasap, untuk saja kerudung cantik bertengger disana, kalau tidak mungkin kebulan asapnya lebih mudah merembes keluar.
 
Ibu D 40th : "Iya, kalau kamu kan enak, suami tajir, kerjanya di kantor minyak, kamu sendiri sekretaris bos. Ya uang segitu nggak ada artinyalah."
 
Ibu yang anaknya sakit tadi tidak menimpali lagi, hanya tersenyum kecut. Mungkin ia masih menyimpan sedikit energi dan kewarasannya untuk hal lain yang lebih penting dibandingkan debat kusir ini.
 
Jiaaaaah, rupanya ini ujung perdebatan panjang barusan. Rupanya kecemburuan sosial pemirsa. Tepok jidat deh saya. Tapi dalam hati saya lega juga perdebatan itu berakhir walaupun disertai raut muram para peserta perdebatan.
 
Yang menggelitik benak saya adalah, kenapa masih juga ada orang yang suka usil dan mau tau urusan orang, tapi giliran orang itu menceritakan urusannya, yang didapat malah komentar-komentar yang memojokkan, juga saran-saran yang dipaksakan. Boleh saja kita memberi saran, tapi jangan memaksakan orang itu menerima saran kita. Anehnya lagi, kalau pendapatnya tak diterima, dia akan sewot sepanjang hari. Saya hanya bisa mendoakan dalam hati supaya ibu yang anaknya sakit tadi tetap tabah dengan kawanannya itu, pasalnya ia kan tiap hari bersama mereka.
 
Bagi saya pribadi, mau tau urusan orang lain adalah hal yang sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan. Bayangkan, jika hidup kita yang sudah singkat dan penuh masalah ini masih harus ditambah dengan memikirkan dan mau tau urusan orang lain, kemudian memberikan komentar pula, kalau komentarnya dicela sewot, terus uring-uringan sampai besoknya. Hello, menderita sekali hidup orang seperti itu. Bukan berarti cuek dengan sekitar ya, tapi lebih kepada menghargai keputusan orang lain. Toh yang mengambil keputusan itu yang akan menanggung resiko dari apa yang ia putuskan, bukan kita kan...
 
So.... stay away from being annoying person ya...
 
Jakarta, 7 Februari 2013
 
 

Senin, 04 Februari 2013

Belajar dari film The Last Samurai....

Semua orang pasti suka menonton film, apalagi jika berasal dari Hollywood. Entah bagus atau jelek, yang penting ada embel-embel "Hollywood", pasti ditonton, karena hal ini sudah menjadi lifestyle sebagian masyarakat kita. Padahal jika ditilik lagi, film karya anak negeri sendiri tak kalah bagus walaupun kadang masih didominasi genre-genre yang tidak mendidik seperti genre horor dengan sisipan erotisme di dalamnya. Namun sekali lagi, film Holywood memang harus diakui kehebatannya dari segi cerita, plot, dan sinematografi, mereka memang unggul. Salah satunya adalah film epik The last Samurai ini, saya sudah menontonnya berkali-kali, herannya saya tidak pernah bosan, bahkan makin bisa meresapi makna dari film ini.

Biarkan saya sedikit bercerita sedikit tentang film ini :

Dikisahkan, Nathan Algren (Tom Cruise) adalah seorang tentara Amerika berpangkat Kapten yang tengah bergelut dengan trauma perangnya setelah ia terpaksa menghabisi suku Indian, penduduk asli Amerika. Ditengah konflik batinnya ini, ia bertemu kembali dengan rekan lamanya yang mengenalkannya pada pebisnis dari Jepang Mr. Omura. Ia mendapat tawaran untuk melatih prajurit Jepang yang sedang dipersiapkan untuk melawan pasukan Samurai pimpinal Katsumoto (Ken Watanabe) yang menurut Mr. Omura sedang melakukan pemberontakan. Omura menganggap Samurai sebagai suku barbar yang sudah tak sesuai lagi dengan visi negara Jepang yang modern. Dengan imbalan gaji yang besar, Nathan Algren menyetujuinya walaupun dengan resiko ia harus berpartner dengan bekas perwira perangnya Kolonel Bagley yang sangat ia benci. Beberapa hari melatih, ia diperintahkan untuk menghadapi pasukan Samurai yang diberitakan akan menyerang perbatasan. Algren menolak dengan alasan pasukan masih belum siap untuk menghadapi Samurai yang sangat terlatih, namun Omura memaksa. Pertempuran tak terelakkan, dan persis seperti perkiraan Algren, pasukannya kocar-kacir, mereka tak mampu membendung kekuatan para Samurai. Algren harus mati-matian mempertahankan dirinya di medan perang, hingga sampai pada posisi tersulit dimana pilihan hanyalah kematian, ia berhasil menyelamatkan dirinya dari hunusan pedang Hirotaro, adik ipar dari Katsumoto, ia menikam Hirotaro tepat di lehernya. Algren memang selamat, namun segera ia menjadi tawanan para Samurai.
 
Selama menjadi tawanan para Samurai, Nathan tidak menerima perilaku buruk sedikitpun. Ia malah mendapat perlakuan yang baik layaknya seorang tamu. Setiap hari ia diundang menemui Katsumoto untuk sekedar bercakap-cakap. Katsumoto beralasan ingin mengenal musuhnya dengan baik, sementara Algren semakin hari semakin menghormati Katsumoto, dan ia mengaku menyesal telah membubuh adik iparnya. Ia juga menyampaikan maafnya pada istri Hirotaro, Taka yang telah merawatnya selama ia berada di rumahnya, namun Taka mengatakan jika suaminya meninggal secara terhormat, dan Algren hanyalah menjalankan tugasnya. Hari-hari berlalu sebagai tawanan dan juga teman bicara bagi Katsumoto membuat Algren makin terkesan dengan kehidupan para Samurai. Algren mulai mempelajari seni bela diri Samurai, dan dengan cepat menyerapnya. Kehidupan para Samurai sangatlah teratur dan disiplin. Mereka tidak pernah melupakan cikal bakal mereka, mereka setia pada tanah kelahiran, adat istiadat, dan juga leluhur mereka. Algren sangat terkesan dengan prinsip hidup Samurai ini. Hingga pada suatu saat desa Samurai diserang oleh sekelompok orang utusan dari Omura. Algren bertarung bersama Katsumoto bahkan menyelamatkan Katsumoto dari tikaman pedang. Samuraipun memenangi pertarungan malam itu.

Tiba saatnya Katsumoto harus melepaskan Algren sebagai tawanan dan mengantarkannya kembali ke kota untuk bergabung dengan resimennya. Dengan berat hati Algren meninggalkan desa para Samurai. Sesampainya dikota dan ketika ia kembali ke resimennya, Algren sangat terkejut, peralatan perang dan senjata mereka sudah sangat maju. Meriam howitzer sengaja didatangkan untuk menambah persenjataan. Keahlian para prajurit sudah jauh lebih mumpuni dibandingkan saat ia pertama kali melatih mereka. Pada suatu malam, Algren menerima kabar kalau Katsumoto telah ditangkap dan akan dibunuh, Algren lalu menyusup untuk membantu Katsumoto melarikan diri. Dalam pertempuran ini, anak lelaki Katsumoto tewas.

Algren dan para Samurai lalu kembali ke desa untuk mempersiapkan perang melawan pasukan Jendral Omura. Algren mengambil keputusan bulat untuk bertempur bersama Samurai. Pertempuran berlangsung sengit, Samurai memenangkan awal pertempuran walaupun banyak pula dari mereka yang tewas. Perbandingan jumlah yang besar antara Samurai dan pasukan Jendral Omura tidak membuat nyali para Samurai ciut. Pertarungan kembali dilanjutkan, namun kali ini Samurai harus menyerah pada meriam howitzer. Satu demi satu Samurai tumbang. Dan hanya Algren dan Katsumoto yang tersisa. Katsumoto ingin mati secara terhormat, maka dimintanya Algren menikamnya dengan Samurai yang ada ditangannya. Dan Katsumoto pun tewas diiringi bunga-bunga sakura yang berguguran. Katsumoto menyebutnya sebagai kematian yang sempurna. Meninggal di medan perang demi mempertahankan jati diri, kesetiaan pada leluhur, keberanian dan harga diri. Akhirnya, Algrenlah Samurai yang terakhir. Ia kembali ke desa untuk menetap disana.

Dari sini pelajaran berharga yang bisa kita ambil adalah, kita bisa menjadi negara yang maju dan modern. Namun kita tak boleh melupakan siapa kita sebenarnya, kita tetap harus menjadi bangsa yang memiliki JATI DIRI. Bukan bangsa yang mudah terprovokasi. Menyedihkan sekali ketika suatu saat saya menonton tayangan di televisi, dalam acara itu pembawa acara menanyakan kepada seorang siswa SMP yang tengah berkumpul-kumpul tentang pancasila. Siswa tersebut diminta menyebutkan Sila ke-3, namun dengan gaya cengengesan, siswa tersebut menjawab TIDAK TAHU. Malah siswa tersebut bertanya kepada temannya, dan dengan cengegesan pula temannya tadi menjawan TIDAK TAHU JUGA. Pertanyaan berikut kalau begitu, senjata khas Aceh.... lagi-lagi dengan cengengesan (mungkin mereka menganggap gaya seperti itu lucu) mereka menjawab KERIS KALI, EH EH SALAH,  GOLOK YA?.....

Satu kata dari saya, MENYEDIHKAN. Jika generasi mudanya saja sudah tak tahu asal usul negara ini, bagaimana negara ini bisa ada, apa saja yang terjadi dalam proses terbentuknya negara ini dan lain sebagainya, bagaimana bisa kita bersaing dengan negara lain? Kita seringkali marah-marah, protes, demo, dan ngedumel kalau kebudayaan kita diklaim negara lain, tapi kalau kita mau NGACA, itu sebenarnya ulah kita sendiri. Salah siapa kalau tidak ada mengurus dengan baik saudara-saudara kita yang ada di perbatasan? Salah siapa kalau masih ada yang malu memakai produk-produk dari dalam negeri, malah bangga dan mencari seribu cara supaya bisa membeli barang-barang dari luar negeri? Salah siapa kalau kita selalu tertinggal dalam hal apapun, baik itu transportasi, tata ruang kota, kemajuan mental masyarakat, dan lainnya? Jawabannya bukan siapa-siapa, tapi KITA SEMUA baik itu pemerintah, instansi-instansi terkait, masyarakat luas, semuanya bertanggung jawab.

Namun jangan pesimis, semuanya belum terlambat. Mulailah dari diri sendiri untuk berbangga diri menjadi ORANG INDONESIA. Memang negara kita tercinta ini mempunyai banyak sekali keburukan, tapi keindahannya juga sangat luar biasa. Kalau masalah keburukan, semua negara mempunyai keburukan, tapi kalau soal keindahan, belum tentu ada dinegara lain.

Mengutip kata-kata terakhir Kaisar di film The Last Samurai, "We can be modern country, we are wearing western clothes, we have railway, but we cannot forget WHO WE ARE."

Semoga berkenan.