Everybody
Loves Drama
Kawin. Selingkuh.
Cerai. Rebutan anak. Rebutan harta. Oh… so
drama.
Setiap hari aku
dipaksa untuk tau urusan orang lain. Padahal sebenarnya, aku ini orang yang
paling tidak mau tahu urusan orang. Hidupku sendiri saja sudah ribet, masih
ditambah dengan memikirkan urusan orang lain, menggali, lalu mengulasnya dalam
sebuah kolom gosip di majalah. Ya ampun!
Kalau boleh
memilih, aku tidak akan mau jadi tukang gosip legal –dibayar lagi-, aku tentu
akan memilih meliput tempat-tempat indah di Indonesia atau luar negeri
sekalian. Sayangnya, tugas itu sudah menjadi jatahnya Olin, si cantik dari gua
selarong itu. Harusnya yang jadi kolumnis gosip itu dia, bayangkan, baru datang
dari Raja Ampat dia langsung melesat ke acara charity yang diadakan oleh salah
satu pengusaha muda hanya demi untuk tahu kebenaran si A jalan bareng dengan si
B.
“Nih, gue dapet
fotonya Jeremy Santoso sama…ah… liat sendiri, deh.”
Olin melemparkan
amplop coklat ke mejaku. Jeremy Santoso yang ketampanannya sudah diakui di jagad
maya dan nyata tampak nyaman melingkarkan tangannya di pinggang seorang
selebriti pendatang baru bernama Bella.
“Sebel banget gue
lihatnya. Si Bella itu ‘kan ratunya cerita setting-an.
‘Kok bisa-bisanya, sih, si Jeremy mau bawa dia ke acara semalam?” Olin melipat
tangannya di dada. Mukanya ditekuk.
Aku memutar
kursiku menghadap Olin yang sekarang menyandarkan pantatnya di meja kerjaku.
Mukanya benar-benar lecek.
“Setting-an juga, kali.” Sahutku cuek.
“Bisa jadi.
Pokoknya, lu harus bisa mendapatkan kebenarannya, membongkar kebusukan si Bella
itu. Pasti ada yang nggak beres, deh. Mana mungkin seorang Jeremy mau pergi
sama Bella yang nggak jelas itu. Artis apaan juga gue nggak tahu.”
Hah? Sekarang aku
terima order kerjaan dari Olin, nih?
“Ini bakal heboh,
Vi. Kalau lu bisa mengungkap apa yang membuat si Bella itu bisa masuk ke acara
semalam. Majalah kita bakal dapat berita besar.” Olin menyipitkan matanya,
tanda dia serius.
Kuambil lagi foto
dari Olin itu, kupandangi wajah si Jeremi Santoso yang memang bikin ngiler.
Lalu kupandangi wajah Bella yang tampaknya bahagia luar dalam bisa mepet-mepet
ke tubuh Jeremy yang sudah pasti wangi itu. Olin benar, pasti ada yang tidak
beres.
“Oke, besok gue
coba atur gimana caranya bisa ketemu sama Jeremy.” Jawabku santai.
“Harus. Lu harus
ketemu dia.” Olin lalu membawa kaki jenjangnya itu pergi dari area kerjaku.
***
Butuh waktu tiga
hari untuk bisa bertemu dengan Jeremy Santoso yang memang terkenal punya
segudang acara itu. Aku hanya perlu waktu tiga puluh sampai empat puluh lima
untuk bisa menemui dia dan menanyakan soal Bella. Tentunya, aku akan melalui
tikungan-tikungan sebelum sampai ke tujuan. Dan di sinilah aku, di ruangan
Jeremy Santoso yang terhormat. Ruangan yang maskulin dan berbau citrus itu.
“Dari majalah, Pride,
ya?”
Aku menoleh ke
belakang dan mendapati Jeremy memasuki ruangan dengan senyum yang bisa
membuatku melupakan wawancara bodoh ini dan langsung ingin mencium bibirnya.
Aku mengangguk pelan, mataku terus tertancap pada laki-laki yang sekarang duduk
di hadapanku. Pasti aku terlihat bodoh. Ah, persetan! Yang penting aku dapat
berita, dengan begitu aku bisa segera minggat dari sini.
“Saya dengar anda
jadi penyandang dana di acara charity kemarin. Bisa anda ceritakan mengapa anda
tertarik untuk menggelontorkan dana yang cukup besar itu untuk sebuah stadion
olah raga?”
Jeremy tersenyum
lagi. Aku sudah siap merangsek maju kalau saja tak ingat sopan-santun.
“Keluarga saya
sangat menghargai olah raga, dan kami melihat kalau di Indonesia ini, di
daerah-daerah khususnya, belum ada stadion olah raga yang memadai.”
Menit demi menit
berlalu Jeremy menjelaskan keterlibatannya dalam acara itu, aku makin tak sabar
untuk melaju ke tikungan terakhir. Saatnya memberi Jeremy pertanyaan terakhir.
“Wow. Saya harap,
semua rencana itu segera terealisasi. Oke, sekarang pertanyaan yang lebih
ringan.” Kulempar senyum diplomatis padanya, dan kulihat Jeremy mengangkat
alisnya yang tebal.
“Semalam anda
datang bersama Bella, apakah anda ada hubungan serius dengan Bella? Kita semua
tahu kalau anda baru saja putus dengan Soraya, model Lancome itu.”
Jeremy tampak
terkejut, aku mencoba tetap tersenyum ramah.
“Oh, Bella… dia…
rencananya dia yang akan menjadi duta olah raga bagi anak-anak muda. Saya…
maksud saya, keluarga saya setuju bila nanti stadion sudah jadi, dia yang akan
mempromosikan keberadaan dan kegunaan stadion itu. Juga untuk beberapa proyek
lainnya.”
“Proyek lainnya…
seperti?”
“Seperti… saya
sedang menyiapkan beberapa proyek. Saya tidak bisa katakan pada media.”
“Jadi, tidak ada
hubungan spesial?”
Aku terus
mendesak.
Alis Jeremy
beradu, “Of course, not. Tunggu
sebentar…”
Jeremy lalu
melangkah ke meja kerjanya, dan berbicara dengan seseorang di telepon. Sesekali
matanya melirik padaku, aku jadi tak nyaman. Mata yang tadi hangat itu sekarang
memicing. Apa yang dia bicarakan? Sialan… aku belum sampai pada jurus
pamungkasku. Jeremy menutup telepon lalu melangkah ke arahku.
“Kolom gosip.”
Mataku melebar.
Tampaknya ini akan segera berubah jadi kacau.
“Ketika kamu
bertanya soal Bella, saya sudah curiga. Now, keluar dari kantor saya, atau saya
katakan pada media yang lain, kalau majalah Pride mencoba membuat berita bohong
tentang saya.”
Entah mengapa aku
merasa terbakar dengan pernyataannya yang penuh ancaman itu. Detik ini juga aku
menyumpah-nyumpah dalam hati, mengapa harus termakan omongan Olin. Harusnya
kubiarkan saja Jeremy ini mau jalan dengan siapa. Masih banyak gosip yang lain.
“Yang namanya
gosip, tentu belum bisa dibuktikan kebenarannya. Anyway, thank you for your time Mr. Jeremy.”
“Yang jelas,
semua wartawan gosip itu sama saja. Mencari-cari urusan dalam negeri orang
lain. Yang tadinya tidak ada jadi ada. Padahal kalian menulis berita hanya
berdasarkan asumsi. Lalu kalian meminta semua orang membenarkan asumsi kalian
itu. Now, get out of here, and never come
back!”
Aku sudah siap
menampar si tampan bermulut ular ini. Tapi memang ucapannya benar, dan aku tak
berkutik. Kuangkat kaki dari tempat terkutuk itu dan ingin secepatnya
membenamkan diri ke tempat tidurku.
***
Seminggu sejak
wawancara sialan itu dan aku belum menunjukkan wajah ke kantor. Semua kata-kata
Jeremy benar, selama ini aku bergembira ria menulis tentang perceraian orang.
Hidupku terlalu rumit karena dijejali masalah-masalah orang lain. Sudah saatnya
aku menikmati hidup, hidup yang mudah yang isinya hanya makan dan tidur dan…
bercinta saja. Tapi bagaimana mau bercinta, pacar saja tak punya. Hei… minggu
lalu aku mendapat undangan dari sepupuku yang mengelola komunitas jomblo
Jakarta. Undangannya belum kutanggapi. Iseng, kubalas undangan itu dan segera
saja aku mendapat konfirmasi. Kuterima pula ajakan untuk ngobrol di grup.
Olala! Sudah satu
jam ini aku bicara ngalor ngidul dengan seseorang bernama Jim. Tapi sialnya,
tak ada foto! Dia pintar, lucu, dan sepertinya romantis. Mungkin aku sudah gila
ketika aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu di sebuah café minggu depan. Aku
tak sebodoh itu, tentu kulakukan beberapa persiapan sebelum akhirnya bertemu
dengan dia. Oke, minggu depan di Opah
Mami Resto, kukatakan itu padanya.
***
Hari yang
kutunggu, bertemu dengan Jim, dan aku sekarang merasa jantungku meronta keluar
dari rangkanya.
Satu jam aku
menunggu dan sengaja aku datang lebih awal, bahkan aku tak mengenakan dress code yang kemarin kukatakan
padanya.
Dan ketika pintu
café terbuka, mataku nyaris melompat.
Saya pakai kaos hijau dan topi hitam.
Itu Jeremy!
Ngapain dia disini dengan baju yang sama seperti yang dikatakan Jim.
Matanya tak
sengaja menuju ke arahku. Aku jadi blingsatan.
Ah, alamat kencan
ini juga gagal kalau apa yang kupikirkan benar.
“Jeremy!”
kupanggil dia.
“Kamu. Ngapain
kamu disini? Nguntit? Mau cari tahu lagi saya kencan dengan siapa?” cerocosnya.
“Maybe yes, maybe
no. Jangan bilang kamu ada di sini karena ingin ketemu cewek bernama Laviona.”
Alisnya yang tebal
beradu lagi, “Kalau iya?”
Damn!
“Aku Laviona.”
Pundak Jeremy
melorot.
“Kurasa sekarang
kamu dapat berita utamanya.”
Aku tersenyum
menang, “Ya, sepertinya begitu. Dan ternyata sulit sekali ya, mendapatkan hidup
yang sederhana itu, selalu saja ada drama.”
Aku dan Jeremy
tertawa.