Jumat, 12 Desember 2014

Everybody Loves Drama



Everybody Loves Drama

Kawin. Selingkuh. Cerai. Rebutan anak. Rebutan harta. Oh… so drama.
Setiap hari aku dipaksa untuk tau urusan orang lain. Padahal sebenarnya, aku ini orang yang paling tidak mau tahu urusan orang. Hidupku sendiri saja sudah ribet, masih ditambah dengan memikirkan urusan orang lain, menggali, lalu mengulasnya dalam sebuah kolom gosip di majalah. Ya ampun!
Kalau boleh memilih, aku tidak akan mau jadi tukang gosip legal –dibayar lagi-, aku tentu akan memilih meliput tempat-tempat indah di Indonesia atau luar negeri sekalian. Sayangnya, tugas itu sudah menjadi jatahnya Olin, si cantik dari gua selarong itu. Harusnya yang jadi kolumnis gosip itu dia, bayangkan, baru datang dari Raja Ampat dia langsung melesat ke acara charity yang diadakan oleh salah satu pengusaha muda hanya demi untuk tahu kebenaran si A jalan bareng dengan si B.
“Nih, gue dapet fotonya Jeremy Santoso sama…ah… liat sendiri, deh.”
Olin melemparkan amplop coklat ke mejaku. Jeremy Santoso yang ketampanannya sudah diakui di jagad maya dan nyata tampak nyaman melingkarkan tangannya di pinggang seorang selebriti pendatang baru bernama Bella.
“Sebel banget gue lihatnya. Si Bella itu ‘kan ratunya cerita setting-an. ‘Kok bisa-bisanya, sih, si Jeremy mau bawa dia ke acara semalam?” Olin melipat tangannya di dada. Mukanya ditekuk.
Aku memutar kursiku menghadap Olin yang sekarang menyandarkan pantatnya di meja kerjaku. Mukanya benar-benar lecek.
Setting-an juga, kali.” Sahutku cuek.
“Bisa jadi. Pokoknya, lu harus bisa mendapatkan kebenarannya, membongkar kebusukan si Bella itu. Pasti ada yang nggak beres, deh. Mana mungkin seorang Jeremy mau pergi sama Bella yang nggak jelas itu. Artis apaan juga gue nggak tahu.”
Hah? Sekarang aku terima order kerjaan dari Olin, nih?
“Ini bakal heboh, Vi. Kalau lu bisa mengungkap apa yang membuat si Bella itu bisa masuk ke acara semalam. Majalah kita bakal dapat berita besar.” Olin menyipitkan matanya, tanda dia serius.
Kuambil lagi foto dari Olin itu, kupandangi wajah si Jeremi Santoso yang memang bikin ngiler. Lalu kupandangi wajah Bella yang tampaknya bahagia luar dalam bisa mepet-mepet ke tubuh Jeremy yang sudah pasti wangi itu. Olin benar, pasti ada yang tidak beres.
“Oke, besok gue coba atur gimana caranya bisa ketemu sama Jeremy.” Jawabku santai.
“Harus. Lu harus ketemu dia.” Olin lalu membawa kaki jenjangnya itu pergi dari area kerjaku.
***
Butuh waktu tiga hari untuk bisa bertemu dengan Jeremy Santoso yang memang terkenal punya segudang acara itu. Aku hanya perlu waktu tiga puluh sampai empat puluh lima untuk bisa menemui dia dan menanyakan soal Bella. Tentunya, aku akan melalui tikungan-tikungan sebelum sampai ke tujuan. Dan di sinilah aku, di ruangan Jeremy Santoso yang terhormat. Ruangan yang maskulin dan berbau citrus itu.
“Dari majalah, Pride, ya?”
Aku menoleh ke belakang dan mendapati Jeremy memasuki ruangan dengan senyum yang bisa membuatku melupakan wawancara bodoh ini dan langsung ingin mencium bibirnya. Aku mengangguk pelan, mataku terus tertancap pada laki-laki yang sekarang duduk di hadapanku. Pasti aku terlihat bodoh. Ah, persetan! Yang penting aku dapat berita, dengan begitu aku bisa segera minggat dari sini.
“Saya dengar anda jadi penyandang dana di acara charity kemarin. Bisa anda ceritakan mengapa anda tertarik untuk menggelontorkan dana yang cukup besar itu untuk sebuah stadion olah raga?”
Jeremy tersenyum lagi. Aku sudah siap merangsek maju kalau saja tak ingat sopan-santun.
“Keluarga saya sangat menghargai olah raga, dan kami melihat kalau di Indonesia ini, di daerah-daerah khususnya, belum ada stadion olah raga yang memadai.”
Menit demi menit berlalu Jeremy menjelaskan keterlibatannya dalam acara itu, aku makin tak sabar untuk melaju ke tikungan terakhir. Saatnya memberi Jeremy pertanyaan terakhir.
“Wow. Saya harap, semua rencana itu segera terealisasi. Oke, sekarang pertanyaan yang lebih ringan.” Kulempar senyum diplomatis padanya, dan kulihat Jeremy mengangkat alisnya yang tebal.
“Semalam anda datang bersama Bella, apakah anda ada hubungan serius dengan Bella? Kita semua tahu kalau anda baru saja putus dengan Soraya, model Lancome itu.”
Jeremy tampak terkejut, aku mencoba tetap tersenyum ramah.
“Oh, Bella… dia… rencananya dia yang akan menjadi duta olah raga bagi anak-anak muda. Saya… maksud saya, keluarga saya setuju bila nanti stadion sudah jadi, dia yang akan mempromosikan keberadaan dan kegunaan stadion itu. Juga untuk beberapa proyek lainnya.”
“Proyek lainnya… seperti?”
“Seperti… saya sedang menyiapkan beberapa proyek. Saya tidak bisa katakan pada media.”
“Jadi, tidak ada hubungan spesial?”
Aku terus mendesak.
Alis Jeremy beradu, “Of course, not. Tunggu sebentar…”
Jeremy lalu melangkah ke meja kerjanya, dan berbicara dengan seseorang di telepon. Sesekali matanya melirik padaku, aku jadi tak nyaman. Mata yang tadi hangat itu sekarang memicing. Apa yang dia bicarakan? Sialan… aku belum sampai pada jurus pamungkasku. Jeremy menutup telepon lalu melangkah ke arahku.
“Kolom gosip.”
Mataku melebar. Tampaknya ini akan segera berubah jadi kacau.
“Ketika kamu bertanya soal Bella, saya sudah curiga. Now, keluar dari kantor saya, atau saya katakan pada media yang lain, kalau majalah Pride mencoba membuat berita bohong tentang saya.”
Entah mengapa aku merasa terbakar dengan pernyataannya yang penuh ancaman itu. Detik ini juga aku menyumpah-nyumpah dalam hati, mengapa harus termakan omongan Olin. Harusnya kubiarkan saja Jeremy ini mau jalan dengan siapa. Masih banyak gosip yang lain.
“Yang namanya gosip, tentu belum bisa dibuktikan kebenarannya. Anyway, thank you for your time Mr. Jeremy.
“Yang jelas, semua wartawan gosip itu sama saja. Mencari-cari urusan dalam negeri orang lain. Yang tadinya tidak ada jadi ada. Padahal kalian menulis berita hanya berdasarkan asumsi. Lalu kalian meminta semua orang membenarkan asumsi kalian itu. Now, get out of here, and never come back!
Aku sudah siap menampar si tampan bermulut ular ini. Tapi memang ucapannya benar, dan aku tak berkutik. Kuangkat kaki dari tempat terkutuk itu dan ingin secepatnya membenamkan diri ke tempat tidurku.

***
Seminggu sejak wawancara sialan itu dan aku belum menunjukkan wajah ke kantor. Semua kata-kata Jeremy benar, selama ini aku bergembira ria menulis tentang perceraian orang. Hidupku terlalu rumit karena dijejali masalah-masalah orang lain. Sudah saatnya aku menikmati hidup, hidup yang mudah yang isinya hanya makan dan tidur dan… bercinta saja. Tapi bagaimana mau bercinta, pacar saja tak punya. Hei… minggu lalu aku mendapat undangan dari sepupuku yang mengelola komunitas jomblo Jakarta. Undangannya belum kutanggapi. Iseng, kubalas undangan itu dan segera saja aku mendapat konfirmasi. Kuterima pula ajakan untuk ngobrol di grup.
Olala! Sudah satu jam ini aku bicara ngalor ngidul dengan seseorang bernama Jim. Tapi sialnya, tak ada foto! Dia pintar, lucu, dan sepertinya romantis. Mungkin aku sudah gila ketika aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu di sebuah café minggu depan. Aku tak sebodoh itu, tentu kulakukan beberapa persiapan sebelum akhirnya bertemu dengan dia. Oke, minggu depan di Opah Mami Resto, kukatakan itu padanya.

***
Hari yang kutunggu, bertemu dengan Jim, dan aku sekarang merasa jantungku meronta keluar dari rangkanya.
Satu jam aku menunggu dan sengaja aku datang lebih awal, bahkan aku tak mengenakan dress code yang kemarin kukatakan padanya.
Dan ketika pintu café terbuka, mataku nyaris melompat.
Saya pakai kaos hijau dan topi hitam.
Itu Jeremy! Ngapain dia disini dengan baju yang sama seperti yang dikatakan Jim.
Matanya tak sengaja menuju ke arahku. Aku jadi blingsatan.
Ah, alamat kencan ini juga gagal kalau apa yang kupikirkan benar.
“Jeremy!” kupanggil dia.
“Kamu. Ngapain kamu disini? Nguntit? Mau cari tahu lagi saya kencan dengan siapa?” cerocosnya.
“Maybe yes, maybe no. Jangan bilang kamu ada di sini karena ingin ketemu cewek bernama Laviona.”
Alisnya yang tebal beradu lagi, “Kalau iya?”
Damn!
“Aku Laviona.”
Pundak Jeremy melorot.
“Kurasa sekarang kamu dapat berita utamanya.”
Aku tersenyum menang, “Ya, sepertinya begitu. Dan ternyata sulit sekali ya, mendapatkan hidup yang sederhana itu, selalu saja ada drama.”
Aku dan Jeremy tertawa.















Sabtu, 29 November 2014

RASA DUNIA DALAM SECANGKIR KOPI

Tepat jam tiga sore, waktu dimana saya melakukan ritual penting dalam keseharian saya, yaitu minum kopi. Kenapa jam tiga? Karena di jam ini ,cuaca sering cerah, pekerjaan mulai longgar, minum kopi sambil menatap langit cerah dari jendela di belakang meja kerja saya sangat menyenangkan. Ritual ini penting bukan saja karena merupakan rutinitas, tapi menjadi sangat prinsipil karena minum kopi adalah kebutuhan bagi saya. Sama seperti saya butuh oksigen untuk benafas, atau seperti saya memerlukan musik metal sebagai pendobrak semangat.

Kopi, bagi saya bukan sekedar minuman pengusir kantuk pencipta mata melek, kopi adalah sesuatu yang artistik. Jelas saja, untuk bisa mendapatkan secangkir kopi yang menendang lidah dan aroma harum yang selalu menabrak indra penciuman, perlu serangkaian proses yang panjang. Keunikan kopi, minuman ini bisa akur dengan apa saja, mau itu susu, jahe, krim, vanilla, caramel, kayu manis, bahkan kelapa bakar! Terbuktikan, kopi itu minuman yang mengakrabkan? Maka dari itu, saya tak bisa lepas atau dipisahkan dari kopi. Pekerjaan saya sebagai sekretaris menuntut saya mengikuti rapat yang kadang menjemukan, di saat itulah kopi selalu menyelamatkan saya. Belum lagi jika sedang berkumpul dengan teman, kopi menjadi pilihan jitu untuk menemani gelak tawa yang membumbung.

Sehari tanpa kopi, apa jadinya saya? Rasanya saya tak rela sehari saja tak merasakan bagaimana pahit dan manis saling berebut menciptakan rasa nikmat di mulut saya. Itulah rasa dunia yang sesungguhnya, dalam secangkir kopi, pahit dan manis kompak menciptakan kenikmatan di akhir. Betapa mudahnya mendapatkan Rasa Dunia, hanya dengan secangkir kopi! Ini baru namanya hidup.

Tulisan khusus untuk #DiBalikSecangkirKopi @IniBaruHidup
Twitter                        : @nadzrady

FB                              : Nadia Soetjipto