Selasa, 21 Februari 2012

Going home to city that I once abandoned... Bojonegoro

Pulang kampung belum pernah terasa semenyenangkan ini. Setelah berkali-kali tertunda dan gagal, akhirnya kesampaian juga untuk pulang ke kampung halaman, ke kota Bojonegoro. Memang tidak selalu hal-hal yang direncanakan dengan matang dan terperinci bisa terwujud, malahan yang tidak direncakan atau bisa dibilang dadakan justru bisa diwujudkan. Contohnya ya masalah pulang kampung ini, sudah dari jauh-jauh hari direncanakan eeeeh ujung-ujungnya nggak jadi. Hingga tiba suatu hari dimana suamiku tercinta memberitahukan keinginannya untuk pulang kampung, kebetulan kita berasal dari kota yang sama. Hmm, ini juga salah satu tips mencari pasangan, carilah yang sekampung, jadi kalau pulang kampung irit ongkos, eh ini irit apa pelit yah? Anyway, aku langsung dengan girang dan semangat empat lima menyambut tawaran yang mungkin nggak akan datang dua kali ini mengingat susahnya suamiku mendapat ijin dari bertugas, dengan mantap dan mata berbinar kuanggukan kepalaku.

Mengingat sudah lebih dari 3 tahun tidak pulang kampung, aku merasa ini akan menjadi perjalanan yang menyenangkan. Belakangan aku baru menyadari kalau kota kecil bernama Bojonegoro itu menjadi sangat istimewa. Aku dulu ingin buru-buru pergi dari sana karena merasa disana tidak ada apa-apa, tidak ada cafe,mall,pusat pendidikan, bahkan untuk belanja baju saja teman-temanku memilih lari ke Surabaya karena model bajunya lebih up to date. Aku merasa jika aku tetap tinggal di Bojonegoro, aku tidak akan berkembang dan sulit mencapai karier. Pada awalnya pemikiran itu benar, kulanjutkan studiku di Jakarta, hingga aku bisa merengkuh karier yang cukup bagus sampai detik ini. Tapi seiring berjalannya waktu, aku merasa selalu ingin pulang. Pulang pada kesederhanaan kota Bojonegoro, kampung halamanku. Aku rindu rumahku yang walaupun jelek dan kuno tapi selalu ramai dengan kedatangan teman-temanku, rindu jalanannya yang besar-besar dan bebas macet, rindu kesederhanaan pola pikir orang-orangnya dan segala hal yang terasa begitu simpel disana. Semua itu sempat kuabaikan selama bertahun-tahun hingga tiba suatu titik dimana aku merasa aku bangga menjadi orang Bojonegoro, semua itu disebabkan hal hal sepele yang tidak aku dapatkan di ibu kota, its all about peace and respect, that's it.

Hari yang ditunggupun tiba, aku menginjakkan lagi kakiku di kota itu, tanggal 9 Februari 2012 kemarin. Aku memilih naik bus malam karena bisa turun langsung di depan rumahku, maklum lokasi rumahku di jalan raya. Rasanya udara pagi itu begitu segar, sengaja aku turun  agak jauh dari rumahku, biar surprise. Benar saja, seorang laki-laki yang sedang duduk di becaknya langsung mengenaliku dan suamiku, dia tersenyum memamerkan deretan giginya yang berwarna coklat karena tembakau yang dihisapnya tiap hari.
"Walaaaah, piyantun Jakarta. Sugeng rawuh." laki-laki itu turun dari becaknya dan menjabat tanganku juga suamiku. Dia adalah tetanggaku yang rumahnya berjarak 200m dari rumahku. Aku tidak menduga aku akan merasa senang bertemu dengannya, inilah ekspresi yang aku tunggu-tunggu, keramahan asli yang tidak dibuat-buat, polos dan lugu. Akhirnya tiba juga aku dirumahku yang bisa dibilang semakin memprihatinkan, bangunan dari tahun 1932 itu semakin miring ke kiri, dan makin rendah saja. Aku langsung berlari masuk kedalam rumah, saking semangatnya, aku tidak memperhatikan halaman yang basah dan licin, dengan sukses aku terpeleset, pantatkulah yang pertama bercengkrama dengan rumahku ini. Ibuku langsung memelukku dan menciumku. Damainya............

The Journey is come,

Malam harinya aku pergi ke alun-alun Bojonegoro, walaaaah, jadi makin bagus saja. Beberapa tahun yang lalu, gapura ini belum ada lho.

Esok harinya makan serabi kesukaanku yang enak dan gak ketulungan murahnya, pantas saja orang - orang Bojonegoro ini cepat kaya, lha wong apa-apa serba murah!

 Ini dia, ibu penjual serabi murah itu, semuanya serba tradisional. Nggak pake pengawet, pemutih, nahan-bahan berbahaya lainnya yang ada pada jajanan di Jakarta.
Malam harinya makan bebek rica-rica di alun-alun lagi..... padahal dulu aku sampai bosan dengan alun-alun,eeeeh sekarang malah kangen banget sama tempat itu.... maaf ya saking hebohnya makan, nggak ada bebek yang bisa dipotret, sudah masuk kedalam perut semua.

Keesokan harinya, acara makan memakan masih berlanjut, kalau sudah begini lupakanlah program diet! Kali ini yang jadi pilihan adalah Gurame Bakar di Klotok. Ajiiiib, bumbunya merasuk sampai kedalam, meresap sempurna, beeeuuuuuh mak nyooozzzz.

Dan akhirnya satu tempat yang juga dulu aku abaikan, TPK (Tempat Penimbunan Kayu). Hah? ngapain ke penimbukan kayu? nggak ada tempat yang lebih menarik? Memang kedengarannya seperti aku ini sudah kekurangan objek wisata sampai-sampai tempat penimbunan kayu yang konon katanya angker itupun menarik hati. Percaya atau tidak, selama tahun-tahun aku tinggal di Bojonegoro, belum pernah sekalipun aku masuk kedalamnya, sungguh kasian. Ternyata didalamnya sungguh rindang dan sejuk, aku tidak merasakan keangkeran sedikitpun.



End of the journey is come, dan aku harus pulang. Setidaknya aku puas, segala hal yang aku anggap remeh dulu ternyata begitu berarti saat ini. Semua hal dari kota itu membuatku selalu ingin mengulang tahun-tahun aku tinggal disana, begitu damai, begitu sederhana, begitu menyenangkan. Bahkan sepincuk serabi ataupun sepiring nasi pecel yang dulu terasa biasa, kini jadi luar biasa. Dialek khas Bojonegoro kini bisa membuatku tertawa riang saat mendengarnya, dulu aku sempat berpikir kalau dialek mereka benar-benar aneh. Benar kata orang bijak, suatu hal akan terasa berarti jika sudah tiada, itulah yang aku rasakan. Bojonegoro menjadi berarti dikala aku sudah meninggalkannya. Keinginan untuk kembali pulang selalu ada dan akan terus ada. 

My beloved city, Bojonegoro Bumi Angling Darmo, Bojonegoro Matoh.