Kamis, 04 Juni 2015

Bogor Love Road


Kota bernama Bogor atau  Buitenzorg ini memang selalu memanggil kembali para pengunjungnya. Dari arti katanya saja sudah jelas, Buitenzorg yang berarti nyaman atau tenteram, dan memang menikmati kota Bogor dengan bangunan-bangunan tua dan pohon-pohon besar yang memayungi jalanan kota membuat hati merasakan sensasi mak nyesssss. Saya termasuk orang yang cukup sering mengunjungi kota ini namun tak pernah bosan untuk kembali. Selain karena memang suka dengan kotanya, kebetulan rumah saya nempel dengan Bogor. Berkali-kali ke Bogor tapi tak pernah saya curahkan bagaimana rasanya walaupun hanya satu kata... terlalu. Maka dari itu, kali ini saya sengaja meluangkan waktu untuk mengulas perjalanan saya dengan keluarga kecil saya mengunjungi Bogor.
 
Berawal dari ide dadakan -as always-, pada harpitnas tanggal 2 Juni 2015 kemarin akhirnya saya dan keluarga memutuskan untuk backpacker ke Bogor. Halah, ke Bogor saja sok-sok-an ber-backpacker. Jika biasanya ke Bogor naik commuter line atau mobil kali ini kami memilih naik motor. Jarak rumah kami di Citayam tak terlalu jauh dengan Bogor dan cukup ditempuh dalam 45 menit saja. Terakhir kali saya ke Bogor naik motor adalah waktu pacaran dengan mantan pacar yang sekarang jadi misua... eaaaaaaa. Kalau dulu bisalah saya peluk-peluk manja selama perjalanan, sekarang tampaknya pelaku pemelukan berganti bentuk. Tangan kecil milik anak saya yang melingkar di pinggang ayahnya sambil menikmati apa saja yang menyapa matanya selama perjalanan.
 
Touchdown di Bogor, kita putuskan untuk sarapan pagi dulu di seputaran Jl. Ahmad Yani. Bubur ayam Cianjur jadi pilihan. Lokasinya cukup mudah dijangkau, selain itu di area ini ada ATM juga kalau-kalau belum ada persediaan uang cash, bisalah dikuras dulu ATM-nya. Rasa bubur ayamnya cukup enak, anak saya saja suka dan ludes. Jatah bundanya disikat juga... hadeeeeh.


Ini dia penampakan bubur ayam Cianjurnya
Ini penampakan anak saya

Oukeh, lanjot! Setelah kenyang dan gembira karena bubur ayam tadi murah meriah, cukup Rp. 8000/porsi, kita lanjutkan perjalanan menuju Istana Bogor yang selalu menggoda dengan rusa-rusa tutul yang berkeliaran dengan bebasnya. Adzra -my daughter- selalu exited setiap kali kesini karena bisa kasih makan rusa. Walaupun sekarang sudah tidak seleluasa dahulu kala -sebelum Pak Jokowi sering berkantor di Bogor-, karena sebenarnya pengunjung dilarang memberi makan rusa-rusa cantik itu. Instruksi ini wajar karena kadang pengunjung lupa melepas karet yang melingkar di wortel yang diberikan ke rusa, alhasil beberapa hari kemudian rusanya jadi sakit. Atau malah ada rusa yang jatuh dan patah kakinya karena berebut makanan dari pengunjung. Tapi walaupun begitu, Istana Bogor dan segala misteri di dalamnya menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Istana ini begitu sakral dan indah, belum lagi taman pribadi yang tak lain adalah Kebun Raya Bogor itu sendiri, menambah cantik istana ini.

Adzra and The Deer

Salah satu sudut Istana Bogor
Setelah dari Istana Bogor, perjalanan kita lanjutkan ke   Jl. Surya Kencana. Sengaja kita lewatkan kunjungan ke Kebun Raya Bogor karena waktu yang terbatas. Padahal Adzra merengek-rengek minta main di taman dan beli bola yang ada tagline Kebun Raya Bogor-nyaampun deeeeeh. Walaupun si kecil manyun, perjalanan tetap berlanjut. Di sepanjang Jl. Surya Kencana bertebaran aneka jajanan tradisional dan aneka pemuas perut lainnya. Mulai dari talas kukus, dodongkal, soto kuning, asinan jagung, rujak, manisan, bahkaaaaaan.... sate B2. Tanduk setan keluar, nih. Selain itu, hasil bumi seperti cabai, bawang, dan sayur mayur beserta sanak saudaranya juga tersedia di sini. Belum lagi baju-baju dan bunga-bunga yang juga ada di sini. Jadi, Surya Kencana lebih mirip one stop shopping-nya Bogor. Saya sempatkan membeli talas kukus dan dodongkal untuk oleh-oleh ibu saya di rumah. Rasa talas kukus ini tak perlu ditanyakan lagi, empuk, pulen, lembut, dan panaaaaas.... Sorry for taking no picture, keburu masuk perut pemirsaaaah.
 
Next stop... beli asinan dulu di Baranangsiang, apalagi kalau bukan asinan Ny. Yenni yang sudah jadi langganan keluarga sejak bertahun-tahun lalu. Lagi-lagi karena terbatasnya waktu, kami memilih untuk menjadikan asinan ini untuk disantap di rumah. Asinan Ny. Yenni ini selalu fresh karena turn over bahan-bahannya cukup tinggi karena laris booooo', selain itu kuahnya seger buger bikin ngiler. Again, no picture taking... tapi lebih baik dibayangkan saja sendiri terus langsung meluncur ke Asinan Ny. Yenni ini.
 
Misi berburu asinan sukses. Saatnya mengisi perut yang mulai rock n roll-an. Pilihan kami jatuhkan pada Mi Ayam Air Mancur. Destinasi kuliner yang satu ini jadi menu wajib keluarga saya jika mengunjungi Bogor. Selain menjual mi ayam, di sini juga disediakan martabak telur dan keju yang rasanya mengguncang lidah, gigi, tembolok, sampai usus! Guyuran keju yang menggunung ditambah dengan mentega dan butter yang meleleh menjalari setiap inci martabak yang menyeruakkan aroma harum. Huaaaah.... glek.... telen ludah dulu, ya. Martabak telurnya???? Jangan tanya lagi, muaaak nyoozzzz, potongan dagingnya sejempol-jempol, kulitnya tebal dan garing. Nulis ini kok ngiler sendiri, ya? Ya sudahlah, mari kita nikmati saja mi ayamnya.

Yuk mareee, sikat mi ayamnya

Setelah kenyang dan gembolan makin banyak karena ada asinan, dodongkal, dan talas kukus, kami putuskan untuk pulang. Keburu hujan juga, sih. Saya susuri lagi jalan kenangan yang jadi saksi perjalanan cinta saya dengan suami. Bogor punya tempat khusus di hati saya yang menggilai segala macam hal yang berbau vintage dan jadul ini. Menyusuri jalanan kota Bogor yang dijejali rumah-rumah dengan arsitektur kolonial seperti membawa saya melintasi lorong waktu. Berpayung pohon-pohon tua yang melindungi kami dari sengatan matahari makin membuat nyaman perjalanan. In the end, Bogor menjadi bagian penting sejarah hidup saya, karena di sanalah jalinan cinta saya dan suami dimulai.

We will always come back there...

From Bogor with love. 2.06.15


 
 



Rabu, 22 April 2015

Dawai Hati Sang Belahan Jiwa


Sejenak terdiam meresapi jalaran rasa

Sewindu sudah, merangkai jejak demi jejak kita

Halus, berliku, berbatu, berduri

Adakah saat dukaku tanpa hadirmu?

Adakah saat bahagiamu tanpa hadirku?

Sejauh ingatanku semua terlalui bersama


Tiada berarti tawaku tanpa gelakmu

Senyummu hanyalah desau angin tanpa kerlingku

Cinta ini sederhana, hadirnya kita yang mengistimewakannya

Cinta itu fana, maka beri dia nyawa

Dan nyawa itu adalah KITA... berdua


Aku utuh bersamamu,

Aku berarti dalam rengkuhmu

Tersesatku tanpa kau memanggil namaku

Seperti kain tua rapuh yang terkoyak jika tanpa ridhamu


Sanggupkah kita berbagi cinta ini selain untuk KITA?

Jika muncul sanggup itu, enyahkan!

Dalam cerita ini hanya ada KITA

Rasa ini indah jika kita yang dekap

Dan kau membuatnya terasa lebih indah...



Cinta ini indah karena kau ada

Tetaplah ada untukku

Kejarlah aku jika kumenjauh

Aku ingin sewindu lagi dan lagi dan lagi

Bersama... aku dan kamu... cuma kita...



Jakarta, 20 April 2015
Untuk suamiku tercinta - 8th years of our marriage



Jumat, 12 Desember 2014

Everybody Loves Drama



Everybody Loves Drama

Kawin. Selingkuh. Cerai. Rebutan anak. Rebutan harta. Oh… so drama.
Setiap hari aku dipaksa untuk tau urusan orang lain. Padahal sebenarnya, aku ini orang yang paling tidak mau tahu urusan orang. Hidupku sendiri saja sudah ribet, masih ditambah dengan memikirkan urusan orang lain, menggali, lalu mengulasnya dalam sebuah kolom gosip di majalah. Ya ampun!
Kalau boleh memilih, aku tidak akan mau jadi tukang gosip legal –dibayar lagi-, aku tentu akan memilih meliput tempat-tempat indah di Indonesia atau luar negeri sekalian. Sayangnya, tugas itu sudah menjadi jatahnya Olin, si cantik dari gua selarong itu. Harusnya yang jadi kolumnis gosip itu dia, bayangkan, baru datang dari Raja Ampat dia langsung melesat ke acara charity yang diadakan oleh salah satu pengusaha muda hanya demi untuk tahu kebenaran si A jalan bareng dengan si B.
“Nih, gue dapet fotonya Jeremy Santoso sama…ah… liat sendiri, deh.”
Olin melemparkan amplop coklat ke mejaku. Jeremy Santoso yang ketampanannya sudah diakui di jagad maya dan nyata tampak nyaman melingkarkan tangannya di pinggang seorang selebriti pendatang baru bernama Bella.
“Sebel banget gue lihatnya. Si Bella itu ‘kan ratunya cerita setting-an. ‘Kok bisa-bisanya, sih, si Jeremy mau bawa dia ke acara semalam?” Olin melipat tangannya di dada. Mukanya ditekuk.
Aku memutar kursiku menghadap Olin yang sekarang menyandarkan pantatnya di meja kerjaku. Mukanya benar-benar lecek.
Setting-an juga, kali.” Sahutku cuek.
“Bisa jadi. Pokoknya, lu harus bisa mendapatkan kebenarannya, membongkar kebusukan si Bella itu. Pasti ada yang nggak beres, deh. Mana mungkin seorang Jeremy mau pergi sama Bella yang nggak jelas itu. Artis apaan juga gue nggak tahu.”
Hah? Sekarang aku terima order kerjaan dari Olin, nih?
“Ini bakal heboh, Vi. Kalau lu bisa mengungkap apa yang membuat si Bella itu bisa masuk ke acara semalam. Majalah kita bakal dapat berita besar.” Olin menyipitkan matanya, tanda dia serius.
Kuambil lagi foto dari Olin itu, kupandangi wajah si Jeremi Santoso yang memang bikin ngiler. Lalu kupandangi wajah Bella yang tampaknya bahagia luar dalam bisa mepet-mepet ke tubuh Jeremy yang sudah pasti wangi itu. Olin benar, pasti ada yang tidak beres.
“Oke, besok gue coba atur gimana caranya bisa ketemu sama Jeremy.” Jawabku santai.
“Harus. Lu harus ketemu dia.” Olin lalu membawa kaki jenjangnya itu pergi dari area kerjaku.
***
Butuh waktu tiga hari untuk bisa bertemu dengan Jeremy Santoso yang memang terkenal punya segudang acara itu. Aku hanya perlu waktu tiga puluh sampai empat puluh lima untuk bisa menemui dia dan menanyakan soal Bella. Tentunya, aku akan melalui tikungan-tikungan sebelum sampai ke tujuan. Dan di sinilah aku, di ruangan Jeremy Santoso yang terhormat. Ruangan yang maskulin dan berbau citrus itu.
“Dari majalah, Pride, ya?”
Aku menoleh ke belakang dan mendapati Jeremy memasuki ruangan dengan senyum yang bisa membuatku melupakan wawancara bodoh ini dan langsung ingin mencium bibirnya. Aku mengangguk pelan, mataku terus tertancap pada laki-laki yang sekarang duduk di hadapanku. Pasti aku terlihat bodoh. Ah, persetan! Yang penting aku dapat berita, dengan begitu aku bisa segera minggat dari sini.
“Saya dengar anda jadi penyandang dana di acara charity kemarin. Bisa anda ceritakan mengapa anda tertarik untuk menggelontorkan dana yang cukup besar itu untuk sebuah stadion olah raga?”
Jeremy tersenyum lagi. Aku sudah siap merangsek maju kalau saja tak ingat sopan-santun.
“Keluarga saya sangat menghargai olah raga, dan kami melihat kalau di Indonesia ini, di daerah-daerah khususnya, belum ada stadion olah raga yang memadai.”
Menit demi menit berlalu Jeremy menjelaskan keterlibatannya dalam acara itu, aku makin tak sabar untuk melaju ke tikungan terakhir. Saatnya memberi Jeremy pertanyaan terakhir.
“Wow. Saya harap, semua rencana itu segera terealisasi. Oke, sekarang pertanyaan yang lebih ringan.” Kulempar senyum diplomatis padanya, dan kulihat Jeremy mengangkat alisnya yang tebal.
“Semalam anda datang bersama Bella, apakah anda ada hubungan serius dengan Bella? Kita semua tahu kalau anda baru saja putus dengan Soraya, model Lancome itu.”
Jeremy tampak terkejut, aku mencoba tetap tersenyum ramah.
“Oh, Bella… dia… rencananya dia yang akan menjadi duta olah raga bagi anak-anak muda. Saya… maksud saya, keluarga saya setuju bila nanti stadion sudah jadi, dia yang akan mempromosikan keberadaan dan kegunaan stadion itu. Juga untuk beberapa proyek lainnya.”
“Proyek lainnya… seperti?”
“Seperti… saya sedang menyiapkan beberapa proyek. Saya tidak bisa katakan pada media.”
“Jadi, tidak ada hubungan spesial?”
Aku terus mendesak.
Alis Jeremy beradu, “Of course, not. Tunggu sebentar…”
Jeremy lalu melangkah ke meja kerjanya, dan berbicara dengan seseorang di telepon. Sesekali matanya melirik padaku, aku jadi tak nyaman. Mata yang tadi hangat itu sekarang memicing. Apa yang dia bicarakan? Sialan… aku belum sampai pada jurus pamungkasku. Jeremy menutup telepon lalu melangkah ke arahku.
“Kolom gosip.”
Mataku melebar. Tampaknya ini akan segera berubah jadi kacau.
“Ketika kamu bertanya soal Bella, saya sudah curiga. Now, keluar dari kantor saya, atau saya katakan pada media yang lain, kalau majalah Pride mencoba membuat berita bohong tentang saya.”
Entah mengapa aku merasa terbakar dengan pernyataannya yang penuh ancaman itu. Detik ini juga aku menyumpah-nyumpah dalam hati, mengapa harus termakan omongan Olin. Harusnya kubiarkan saja Jeremy ini mau jalan dengan siapa. Masih banyak gosip yang lain.
“Yang namanya gosip, tentu belum bisa dibuktikan kebenarannya. Anyway, thank you for your time Mr. Jeremy.
“Yang jelas, semua wartawan gosip itu sama saja. Mencari-cari urusan dalam negeri orang lain. Yang tadinya tidak ada jadi ada. Padahal kalian menulis berita hanya berdasarkan asumsi. Lalu kalian meminta semua orang membenarkan asumsi kalian itu. Now, get out of here, and never come back!
Aku sudah siap menampar si tampan bermulut ular ini. Tapi memang ucapannya benar, dan aku tak berkutik. Kuangkat kaki dari tempat terkutuk itu dan ingin secepatnya membenamkan diri ke tempat tidurku.

***
Seminggu sejak wawancara sialan itu dan aku belum menunjukkan wajah ke kantor. Semua kata-kata Jeremy benar, selama ini aku bergembira ria menulis tentang perceraian orang. Hidupku terlalu rumit karena dijejali masalah-masalah orang lain. Sudah saatnya aku menikmati hidup, hidup yang mudah yang isinya hanya makan dan tidur dan… bercinta saja. Tapi bagaimana mau bercinta, pacar saja tak punya. Hei… minggu lalu aku mendapat undangan dari sepupuku yang mengelola komunitas jomblo Jakarta. Undangannya belum kutanggapi. Iseng, kubalas undangan itu dan segera saja aku mendapat konfirmasi. Kuterima pula ajakan untuk ngobrol di grup.
Olala! Sudah satu jam ini aku bicara ngalor ngidul dengan seseorang bernama Jim. Tapi sialnya, tak ada foto! Dia pintar, lucu, dan sepertinya romantis. Mungkin aku sudah gila ketika aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu di sebuah café minggu depan. Aku tak sebodoh itu, tentu kulakukan beberapa persiapan sebelum akhirnya bertemu dengan dia. Oke, minggu depan di Opah Mami Resto, kukatakan itu padanya.

***
Hari yang kutunggu, bertemu dengan Jim, dan aku sekarang merasa jantungku meronta keluar dari rangkanya.
Satu jam aku menunggu dan sengaja aku datang lebih awal, bahkan aku tak mengenakan dress code yang kemarin kukatakan padanya.
Dan ketika pintu café terbuka, mataku nyaris melompat.
Saya pakai kaos hijau dan topi hitam.
Itu Jeremy! Ngapain dia disini dengan baju yang sama seperti yang dikatakan Jim.
Matanya tak sengaja menuju ke arahku. Aku jadi blingsatan.
Ah, alamat kencan ini juga gagal kalau apa yang kupikirkan benar.
“Jeremy!” kupanggil dia.
“Kamu. Ngapain kamu disini? Nguntit? Mau cari tahu lagi saya kencan dengan siapa?” cerocosnya.
“Maybe yes, maybe no. Jangan bilang kamu ada di sini karena ingin ketemu cewek bernama Laviona.”
Alisnya yang tebal beradu lagi, “Kalau iya?”
Damn!
“Aku Laviona.”
Pundak Jeremy melorot.
“Kurasa sekarang kamu dapat berita utamanya.”
Aku tersenyum menang, “Ya, sepertinya begitu. Dan ternyata sulit sekali ya, mendapatkan hidup yang sederhana itu, selalu saja ada drama.”
Aku dan Jeremy tertawa.















Sabtu, 29 November 2014

RASA DUNIA DALAM SECANGKIR KOPI

Tepat jam tiga sore, waktu dimana saya melakukan ritual penting dalam keseharian saya, yaitu minum kopi. Kenapa jam tiga? Karena di jam ini ,cuaca sering cerah, pekerjaan mulai longgar, minum kopi sambil menatap langit cerah dari jendela di belakang meja kerja saya sangat menyenangkan. Ritual ini penting bukan saja karena merupakan rutinitas, tapi menjadi sangat prinsipil karena minum kopi adalah kebutuhan bagi saya. Sama seperti saya butuh oksigen untuk benafas, atau seperti saya memerlukan musik metal sebagai pendobrak semangat.

Kopi, bagi saya bukan sekedar minuman pengusir kantuk pencipta mata melek, kopi adalah sesuatu yang artistik. Jelas saja, untuk bisa mendapatkan secangkir kopi yang menendang lidah dan aroma harum yang selalu menabrak indra penciuman, perlu serangkaian proses yang panjang. Keunikan kopi, minuman ini bisa akur dengan apa saja, mau itu susu, jahe, krim, vanilla, caramel, kayu manis, bahkan kelapa bakar! Terbuktikan, kopi itu minuman yang mengakrabkan? Maka dari itu, saya tak bisa lepas atau dipisahkan dari kopi. Pekerjaan saya sebagai sekretaris menuntut saya mengikuti rapat yang kadang menjemukan, di saat itulah kopi selalu menyelamatkan saya. Belum lagi jika sedang berkumpul dengan teman, kopi menjadi pilihan jitu untuk menemani gelak tawa yang membumbung.

Sehari tanpa kopi, apa jadinya saya? Rasanya saya tak rela sehari saja tak merasakan bagaimana pahit dan manis saling berebut menciptakan rasa nikmat di mulut saya. Itulah rasa dunia yang sesungguhnya, dalam secangkir kopi, pahit dan manis kompak menciptakan kenikmatan di akhir. Betapa mudahnya mendapatkan Rasa Dunia, hanya dengan secangkir kopi! Ini baru namanya hidup.

Tulisan khusus untuk #DiBalikSecangkirKopi @IniBaruHidup
Twitter                        : @nadzrady

FB                              : Nadia Soetjipto

Minggu, 29 Desember 2013

KITA BERCERITA: Kegiatan Bis Nulis 2013

KITA BERCERITA: Kegiatan Bis Nulis 2013: Halo guys! Dalam rangka menyambut rilisnya buku Cerita Horor Kota, minggu lalu PlotPoint bikin workshop nulis cerita horor. Nama acarany...

Selasa, 10 September 2013

METALLICA : 25082013 Untuk Mereka Yang Punya SELERA...


It's been more than two weeks since their concert in Jakarta, and I still feel the heat!

Tidak mudah melupakan peristiwa yang bisa saya katakan "epic' itu. Bukan hanya karena konser Metallica dua minggu lalu memang dahsyat dari semua sisi, lighting, sound, crowd, dan tentu Metallica-nya sendiri, tapi lebih pada apa saja yang harus saya hadapi dan perjuangkan demi konser ini. Bagaimana tidak, ketika saya sudah mengantongi dua tiket nonton sejak sebulan lalu, seminggu sebelum hari-H, asisten rumah tangga saya yang biasa mengasuh anak saya memutuskan tidak kembali karena harus menikah, kepala saya langsung berasap. Belum lagi suami saya yang ternyata harus bertugas pada tanggal 25 Agustus itu, wuarrgghhh apa-apaan ini! For sure, I am not gonna miss this live concert, no matter what happend! Setelah putar otak kesana kemari, akhirnya, ada salah seorang teman yang sangat berbaik hati, anak saya boleh dititipkan selama seharian penuh bersamanya. One solved, one more to go, tinggal masalah kedinasan suami saya yang sedikit membuat keki dan senewen. Hingga tanggal 24 Agustus, saya belum menemukan solusi untuk masalah yang satu ini. Apakah ini artinya saya akan melewatkan peristiwa -MUST SEE BEFORE YOU DIE- ini? No way, that's not gonna happend. Hanya ada satu cara yaitu, NEKAT. Setelah berpikir keras, plus saya kompor-kompori bahwa mereka mungkin tak akan manggung lagi di Jakarta mengingat usia mereka sudah kepala 5. Memantapkan hati untuk berbuat nekat memang sulit, tapi demi kecintaannya pada band yang sudah jadi idolanya sejak remaja ini, akhirnya dia nekat untuk nekat. Tinggal saya yang tertawa setan dibalik semua kenekatan ini, hahaha.
 
Sejak voucher tiket di tangan, hari demi hari berlalu dengan penantian dan gelora menggebu-gebu, saya tak sabar lagi menantikan James Hetfield meneriakkan "YEAAAH" di atas panggung, dan saya menyaksikannya dengan takjub. Bagaimana tidak, sejak saya berumur 7 tahun, setiap pagi telinga saya mendengar Enter Sandman diputar keras-keras oleh almarhum kakak sepupu saya (Rest in peace, Brother) yang kebetulan waktu itu tinggal serumah -kami tinggal bersama nenek kami-, dan tiap kali lagu itu diputar, satu kata dari nenek saya, "PATENI!" (red. Matikan). Saat itu saya belum tahu siapa mereka, apa saja lagu-lagu mereka dan kenapa kakak saya menyukai mereka. Dengan sabar, kakak saya menjelaskan pada adiknya yang baru kelas 2 SD ini, bahwa mereka bernama Metallica dan mereka hebat, lalu ia menunjukkan pada saya satu per satu lagu mereka, juga kaset-kaset Metallica yang dimilikinya. Lagu-lagu mereka makin familiar di telinga kanak-kanak saya, sampai akhirnya kakak saya pindah ke Magelang untuk bekerja, dia membawa semua koleksi kasetnya dan saya tak pernah lagi mendengar Enter Sandman, atau Sad But True diputar dirumah. Tapi itu tidak mengurangi kecintaan saya pada mereka. Ketika duduk di bangku SMP dan mulai mengenal MTV, -bersyukur saya hidup di era 90-an saat MTV hanya menanyangkan musik-musik berkualitas-, saya makin mengenal mereka. Saat itu The Unforgiven II ditayangkan di MTV dan saya kembali jatuh cinta pada James Hetfield yang sudah merubah rambutnya jadi cepak minus kumis sangarnya -which is awesome, i think-. Walaupun saat itu musik metal harus bertahan di tengah serbuan para boyband dan musik pop tentunya, Metallica tetap punya style dan kelasnya sendiri, dan walaupun saya juga menyukai beberapa boyband, saya tetap dan masih menyukai musik metal dan rock, apalagi musik rock tahun 80an.
 
Baiklah, kembali ke konser mereka di Jakarta, hari penukaran tiket telah tiba, dan semangat saya makin berapi-api. Tanggal 24 Agustus, saya pergi ke GBK bersama suami saya, sengaja saya datang sore hari sekitar jam tiga karena saya membaca berita, bahwa antrian di tempat penukaran tiket sudah mengular sejak pagi, saya berharap antrian itu sudah reda di sore hari. Dan benar saja, ketika saya tiba disana, antrian itu sudah kosong dan lengang. Akhirnya saya bisa menukarkan tiket tanpa perlu berdesak-desakan. Yeaaah! Saya hanya perlu berdiri di belakang dua mas-mas gondrong, dengan kacamata hitam dan kaos metal, -yang bahkan bukan bertuliskan Metallica-. Syarat menukarkan tiket adalah harus pembeli tiket yang menukarkan dengan membawa tanda pengenal, dan mungkin ini tidak dipahami oleh mas-mas gondrong berkaos metal di hadapan saya, atau mungkin mereka lupa. Begitu petugas ticketing meminta KTP, mereka tampak sedikit bingung dan saling bertukar pandang, hmmm sinyal mereka bakal berdiri lama di depan loket sudah terpancar. Benar saja, ketika salah satu dari mereka mengeluarkan KTP, petugas mengembalikan KTP itu karena yang diperlukan adalah KTP pembeli, dan tentu saja bukan mereka yang membeli. Alhasil mereka kelabakan, dari logat bicara mereka bisa saya pastikan mereka dari Jawa, mereka lalu sibuk menelepon rekan mereka dari depan loket. Kan... bener kan...lama deh nih. Untung saja petugas meminta saya untuk maju menukarkan tiket sementara mas-mas gondrong itu tampak semakin galau dan resah. Tak perlu waktu lama, saya segera mendapatkan dua tiket dengan jaya, HAHAHA. Sebelum berlalu dari loket itu, saya lemparkan senyum pada mas-mas itu yang menatap saya dengan merana, ingin rasanya saya menepuk pundak mereka dan berkata, "Sing sabar yo....." tapi tidak, tidak, sebagai sesama fans Metallica, tidak boleh saling menyakiti. Dalam hati saya berdoa, supaya mereka bisa tetap nonton konser sekali seumur hidup itu, tapi tetap saja ada ketawa setan di ujung bibir saya :p
 
25 Agustus 2013, adalah hari yang sudah saya tunggu-tunggu sejak sebulan lalu. Setelah malam sebelumnya saya tidak bisa tidur karena terlalu resah menunggu hari minggu pagi tiba, dan hasilnya saya nyaris tidak tidur semalaman. Tapi itu tidak mengurangi semangat saya, jam 12 siang, saya berangkat ke GBK dengan maksud, agar bisa mendapatkan spot parkir yang nyaman. Suami saya memilih memarkir kendaraan di RRI, dan alhamdulillah, saya tidak perlu parkir motor sampai ke dalam. Tampak calon penonton berkaos hitam bertuliskan Metallica seliweran di depan pintu masuk stadion, karena masih cukup lama mereka memanfaatkan waktu untuk, biasalah, foto-foto. Cuaca yang sangat terik waktu itu tidak menyurutkan niat kami semua para penonton untuk berjalan-jalan di dalam stadion untuk melihat stand-stand yang ada. Tapi akhirnya saya dan suami saya merasa kalau kami harus menghemat tenaga untuk konser malam nanti, saya pilih untuk makan siang di salah satu stand makanan yang kebetulan ada tepat di depan Green B Gate, tempat kami nonton nanti. Di dekat tempat makan tadi, ada salah satu stand sponsor TAMA, yang mengadakan kompetisi memainkan double pedal, dengan hadiah double pedal dari TAMA. Lumayanlah untuk mengisi kebosanan menunggu konser dimulai. Cuaca yang sangat terik memaksa kami tidak banyak berkeliaran, selain menghemat tenaga untuk konser nanti malam, juga karena bisa menimbulkan kehausan, ini perlu dihindari karena harga air minum kemasan paling kecil melambung jadi Rp. 10.000! Gilaaaa. Satu hal yang menggelitik, dari ribuan penonton, kisaran usia mereka adalah 30 tahun keatas, jarang sekali saya jumpai ABG disana, kalau nenek-nenek justru ada. Apa iya, anak muda jaman sekarang sudah tak suka lagi musik metal yang enerjik dan memilih boyband/girlband korea, atau band-band melayu seperti yang marak saat ini? Jika benar begitu, sayang sekali, dan ini berarti penurunan selera.

Pukul empat sore, antrian mulai terjadi di depan gate, dan saya tak ketinggalan. Beruntung saya bisa mengantri di barisan depan, inilah keuntungan datang lebih awal, bisa mengantri di depan. Tapi sampai jam enam sore, gate belum dibuka juga. Perubahan posisi dari berdiri-jongkok-duduk-berdiri-duduk lagi pun mulai terjadi. Akhirnya pukul enam gate dibuka, mundur satu jam dari yang dijadwalkan. Pemeriksaan tas sedikit memperlambat proses masuk ke stadion, belum lagi penyitaan air minum yang tadi sempat kami beli. Arrgghhhh, ternyata ini dengan maksud agar kami membeli air minum didalam, yang harganya Rp. 10.000 itu tadi. Hiks, baiklaaah, demi Metallica, saya maklumi semua hal ini. Akhirnya, saya dan suami saya masuk ke stadion dengan sakses! YEESSS. saya mendapatkan spot yang sangat pas, walaupun di tribun, tapi tempat yang saya pilih pas. . Saya duduk bersebelahan dengan lima orang anak SMA -nah, kali ini saya kaget-, karena penasaran, akhirnya saya tanya mereka kenapa bisa nonton Metallica, jawabannya karena mendengar cerita dari paman salah satu anak ABG tadi yang memang nge-fans sama Metallica. Dan memang terbukti, sepanjang konser mereka cuma ber-headbang, tapi tidak hapal satupun lagi dari Metallica, hahaha. Seringai tampil sebagai band pembuka, walaupun boleh dibilang cukup "membakar" tapi belum bisa benar-benar membakar diri saya. Hasilnya, saya hanya manggut-manggut ketika Seringai tampil, bukan karena musik mereka buruk, musik mereka bagus, tapi mungkin karena saya terlalu memusatkan seluruh energi dan pikiran saya untuk Metallica, bukan yang lain. Hampir setengah jam berlalu sejak Seringai turun panggung, penonton mulai tak sabar, lalu tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari tribun Purple A. Apa itu? Rupanya mereka membuat Mexican Wave. Sambuuuut! Penonton di Green A sampai ke Purple B dengan senang hati menyambut, dan membalasnya! Sampai-sampai, penonton yang ada di Festival membalikkan badan dan mengabadikan momen ini bersamaan dengan tepuk tangan keras dari mereka. Magic! Betapa begitu banyak energi positif dari konser ini, belum dimulai saja sudah seru begini.

Penantian sejak sebulan lalu, detak jantung yang makin menjadi menjelang konser sepertinya terbayar. Begitu Ecstacy Of Gold diputar, dan lampu mulai dimatikan, sementara di LCD yang ada di kanan dan kiri panggung menampilkan potongan film The Good The Bad and The Ugly, koor dari puluhan ribu penonton mulai membahana, termasuk saya. Tapi yang membuat teriakan saya pecah adalah ketika suara dram Lars Ulrich menyapa, JLEP! Riff Hit The Light mulai dimainkan oleh James Hetfield, rasanya mau pingsan. Tanpa tunggu komando selanjutnya, saya banting kepala kedepan dan kebelakang, headbang man! Master Of Puppets langsung menyusul, ini berarti.... headbang lageee! Setelah lagu ini James sempat menyapa para penonton dulu, "You're so energetic tonight. Miss your old friends from Metallica?...." dan langsung saya jawab "James I love you!" Hahaha, saya tahu sih James nggak bisa dengar, tapi bodo amat deh... Lagi-lagi kepala saya ini harus dibanting-banting karena Fuel sudah dimainkan, tapi air mata saya mau tak mau menetes ketika Fade to Black dimainkan. Entah mengapa konser ini terasa seperti reuni, penuh emosi dan kerinduan, juga... akrab. Terus menerus sampai pada lagu favorit saya Sad But True, yeaah. Mata saya dimanjakan oleh penampilan prima James Hetfield cs, di usia yang tak lagi muda, stamina mereka tetap prima, tak terlihat raut kelelahan. Kirk Hammet tetap kalem seperti biasa, walaupun James Hetfield tak lagi segarang dulu, tapi tetap bisa menunjukkan taringnya dengan jari-jarinya yang piawai memainkan riff, Rob Trujillo tak kalah memukau dengan rambut panjangnya yang di bagi empat bagian dan di kepang membetot bass dengan tenaga penuh, dan satu lagi Lars Ulrich, masih jago main double pedal! Gebukan drumnya berdembum di dada dan telinga saya. Empat jempol buat mereka! Salut.

Malam meninggi, sampai tiba saatnya Nothing Else Matter dimainkan, lampu diredupkan, oooh maan.. makin syahdu aja ini konser. Nyala api mulai tampak diacungkan oleh mayoritas penonton -padahal kan tidak boleh membawa korek.. ckckck- Saya tarik nafas dalam-dalam menikmati petikan gitar dan dentuman drum, mata saya hampir basah lagi, tapi tidak menetes. Puncak berkumpulnya semua energi penonton tampaknya pecah di Enter Sandman yang dimainkan tepat setelah Nothing Else Matter, semua penonton yang ada di GBK bernyanyi dengan lantang, sampai-sampai suara James tidak terdengar. Saking kerasnya, James sampai tersenyum gembira ketika melihat para fans nya kompak bernyanyi. Jujur, saya belum pernah melihat James Hetfield tersenyum segembira itu di beberapa video konser yang saya lihat, sepertinya dia bahagiaaaa sekali malam itu. Encore tiba, mereka masuk sebentar sebelum akhirnya menghentak lagi dengan Creeping Death, Fight Fire with Fire sampai akhirnya Seek and Destroy menutup live concert mereka. Menyaksikan satu-persatu dari mereka masuk ke belakang panggung setelah sebelumnya memberikan ucapan terima kasih, membuat mata saya kabur karena ada yang menggenang, tapi ucapan Lars bahwa they'll be back so f***in soon membuat saya bernafas lega, semoga saja benar adanya.

Pukul 00.00, saya keluar dari stadion, menunggu sedikit lengang. Suami saya menggenggam tangan saya erat, saya tarik nafas dalam-dalam. Atmosfer yang akrab, bertenaga, dan tentu saja... hebat, masih bisa saya rasakan. Euforia yang total, tapi tetap aman dan santun, ahhh betapa bahagianya. Bagi saya konser Metallica tempo hari bukan sekedar menonton sekelompok orang bermain musik, tapi juga edukasi. Edukasi bermusik yang sangat tepat untuk atmosfer musik dalam negeri saat ini yang bisa dibilang... menyedihkan. Dan memang, konser Metallica kemarin hanya untuk mereka yang punya SELERA.

\m/ Forever!

Jakarta, 9 September 2013
 
 

Senin, 24 Juni 2013

MASALAH PERUT


"Kapan kau akan berhenti?"

"Kalau mereka berhenti."

"Mereka tak pernah berhenti. Kau yang harus berhenti!"

"Mereka memintaku kembali setiap malam. Mereka harus menyalurkan nafsunya."

"Kau bisa memilih untuk tak datang"

"Kau bisa mengisi periuk nasiku?"

Supir taksi itu terdiam mendengar pertanyaan si kupu-kupu malam. Ia meliriknya melalui kaca spion. Si kupu-kupu malam sibuk merapikan gincu dan polesan bedaknya. Ia mendesah, rupanya ini semua berujung pada masalah perut. Ia menggelengkan kepalanya dengan berat, lalu kembali berkonsentrasi pada kemudi mobilnya.

Masalah Perut - Nadia Soetjipto
Jakarta, 1 Oktober 2012"